Wednesday, September 26, 2007

Hadits Sebagai Panutan

Kayu Bakar Api Neraka
(Kaum wanita adalah yang paling banyak, kenapa?) Mukaddimah
Islam adalah agama yang universal dan sangat memperhatikan permasalahan yang berkaitan dengan wanita secara transparan dan proporsional. Ia menempatkan wanita dalam kedudukan yang layak dan bermartabat dimana sebelumnya di masa Jahiliyyah, dianggap sebagai "harta pusaka" yang diwariskan dan dipergilirkan; dia dapat diwariskan kepada anak. Disamping itu, dia juga dianggap sebagai noda yang dapat mencemarkan keluarga bila terlahirkan ke dunia sehingga harus dienyahkan dari muka bumi sebelum sempat menghirup udara kehidupan dengan cara menanamnya hidup-hidup.
Kedudukannya yang semacam inilah kemudian diangkat dan dihormati setinggi-tingginya oleh Islam, diantaranya; dia dijadikan orang yang paling pertama harus dipersembahkan bakti kepadanya ketika menjadi seorang ibu, adanya satu surat dalam al-Qur'an yang dinamakan dengan kaumnya (an-Nisa'), menjanjikan bagi orangtua yang berhasil mendidiknya sebagai jalan masuk surga, dan banyak lagi yang lain.
Namun begitu, Islam juga menyebutkan bahwa kaum wanita adalah orang-orang yang kurang akal dan diennya, banyak mengeluh/permintaan serta suka memungkiri kebaikan suami.
Berkaitan dengan yang terakhir ini, sudah bukan merupakan rahasia lagi bahwa di abad kontemporer ini banyak sekali isteri-isteri -yang barangkali karena memiliki jasa dan andil dalam pemenuhan anggaran belanja rumah tangganya- merasa diatas angin dan tidak sedikit yang semena-mena terhadap suami. Hal ini terjadi, lebih dikarenakan kurangnya pemahaman terhadap agama yang merupakan sesuatu yang esensial bagi seorang calon suami sebelum berubah menjadi suami melalui aqad yang sah. Sang suami hendaknya dalam memilih calon isteri lebih memprioritaskan sisi keshalihahannya.
Karena kurangnya pemahaman agama, sang isteri tidak mengetahui bahwa sebenarnya agama mewajibkannya untuk patuh dan taat kepada suami bahkan kerelaan suami terhadapnya ibarat prasyarat masuk ke surga –disamping syarat-syarat yang lain yang berkaitan dengan syarat diterimanya amal manusia secara umum- sebagaimana dalam makna hadits yang menyatakan bahwa siapa saja isteri yang meninggal dunia sementara suaminya rela terhadapnya maka dia akan masuk surga.
Dari kurangnya pemahaman agama tersebut kemudian berdampak kepada banyak kaum wanita yang bekerja di luar rumah dan berbaur dengan kaum lelaki dengan anggapan bahwa mereka memiliki hak yang sama dengan kaum pria dalam segala bidang tanpa terkecuali, sebagaimana yang digembar-gemborkan oleh kaum feminis, termasuk dalam urusan rumah tangga. Lapangan kerja yang disesaki oleh tenaga wanita mengakibatkan meningkatnya angka pengangguran di kalangan kaum pria, terutama bagi mereka yang sudah berkeluarga namun tidak memiliki skil yang cukup untuk bekerja sehingga mendorong sang isteri untuk keluar rumah, terkadang menggantikan posisi suami dalam memenuhi kebutuhan keluarganya. Tentunya hal ini memiliki implikasi negatif, belum lagi dari sisi syar'inya, terhadap watak sang isteri. Dia seakan merasa telah berjasa dan memiliki andil dalam menghidupi keluarganya sedangkan sang suami hanya seorang penganggur. Atau dalam kondisi yang lain, dia memiliki pekerjaan dan gaji yang jauh lebih tinggi dari sang suami. Hal ini, kemudian dijadikan alasan yang kuat untuk memberontak, menyanggah, meremehkan bahkan memperbudak sang suami. Suami yang, misalnya, memiliki gaji kecil terkadang nafkah yang diberikannya kepada keluarga, disambut oleh isterinya dengan rasa ketidakpuasan dan kurang berterimakasih. Apalagi, bila kebetulan sang isteri juga bekerja dan gajinya lebih besar dibanding suami, tentu akan lebih parah lagi sikapnya terhadap suaminya yang seorang penganggur atau bergaji kecil. Dalam pada itu, hanya wanita-wanita shalihah yang memahami agama mereka dengan baik dan tahu bagaimana bersikap kepada suami-lah yang terselamatkan dari kondisi seperti itu.
Mengingat betapa urgennya pembahasan tentang hal ini dari sisi agama dan perlunya kaum wanita mengetahuinya, khususnya tentang ancaman terhadap wanita yang melakukan hal tersebut alias banyak mengeluh/permintaan dan suka memungkiri kebaikan suami, maka kami berupaya menuangkannya dalam bagian pembahasan hadits kali ini-disamping pembahasan tentang hal yang lain- dengan harapan, kiranya ada dari sekian banyak kaum wanita, yang menyempatkan diri membaca tulisan ini. Kami mengambil materi pembahasan hadits ini dari sebuah kajian hadits berbahasa Arab oleh seorang Syaik dan kami anggap laik untuk diturunkan.
Kami berharap bagi pembaca yang kebetulan menemukan kesalahan, khususnya dari sisi materi dan bahasa (terjemahan), agar sudi kiranya memberikan masukan yang positif kepada kami sehingga pada pembahasan hadits selanjutnya dapat dihindarkan. Wallaahu a'lam.
Naskah Hadits
Dari Jabir bin 'Abdullah –radhiallaahu 'anhuma- dia berkata: "Aku melaksanakan shalat pada hari 'Ied bersama Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam ; beliau memulai dengan shalat dulu sebelum khuthbah, tanpa azan dan iqamah, kemudian berdiri sambil merangkul Bilal. Beliau memerintahkan untuk bertaqwa kepada Allah, mengajak berbuat ta'at kepadaNya, mewasiati manusia dan mengingatkan mereka, kemudian beliau berlalu (setelah berbicara panjang lebar-red) hingga mendatangi (menyentuh permasalahan-red) kaum wanita lantas mewasiati dan mengingatkan mereka, sembari bersabda: ' bersedekahlah! Karena sesungguhnya kebanyakan kalian adalah (menjadi) kayu api neraka Jahannam'. Lalu seorang wanita yang duduk ditengah-tengah mereka berkata: kenapa demikian wahai Rasulullah?. Beliau menjawab: 'karena kalian banyak keluhkesah/permintaannya dan memungkiri (kebaikan yang diberikan oleh) suami'.
Jabir berkata: "lalu mereka bersedekah dengan perhiasan-perhiasan mereka dan melempar anting-anting dan cincin-cincin mereka kearah pakaian bilal". (H.R.Muttafaqun 'alaih).
Sekilas tentang periwayat hadits
Dia adalah seorang shahabat yang agung, Jabir bin 'Abdullah bin 'Amru bin Haram al-Anshary. Dia dan ayahnya mendampingi Rasulullah sebagai shahabat. Bersama ayahnya menyaksikan "Bai'atul 'Aqabah al-Akhirah". Ayahnya termasuk salah seorang "Nuqaba' " (pemimpin suku) yang ikut dalam bai'at tersebut. Dia ikut serta dalam banyak peperangan bersama Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam. Dia berkata:"Aku ikut serta berperang bersama Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam sebanyak 19 kali peperangan". Dia adalah salah seorang dari "al-Muktsirûn li riwâyatil hadits" (kelompok shahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits) dari Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam. Dia memiliki halaqah (kelompok pengajian) di al- Masjid an-Nabawy. Halaqah ini banyak dihadiri oleh orang-orang yang ingin menggali ilmu darinya. Dia juga termasuk orang yang dipanjangkan umurnya oleh Allah dan merupakan salah seorang shahabat yang paling belakangan meninggal di Madinah. Dia wafat disana pada tahun 78 H dalam usia 94 tahun.
Faedah-Faedah Hadits Dan Hukum-Hukum Terkait
A. Hadits yang mulia diatas menjelaskan beberapa hukum yang terkait dengan shalat 'Ied, diantaranya:
o Hadits tersebut menyatakan bahwa dalam shalat 'Ied tidak ada azan dan iqamah.
o Khuthbah 'Ied hendaknya mencakup ajakan agar bertaqwa kepada Allah Ta'âla sebab ia merupakan kolektor semua kebaikan, demikian pula ajakan agar berbuat ta'at kepada-Nya dan saling mengingatkan dalam hal itu.
o Khuthbah dilakukan setelah shalat 'Ied bukan sebelumnya sepertihalnya pada shalat Jum'at. Masing-masing dari keduanya memiliki dua khuthbah * akan tetapi pada shalat Jum'at dilakukan sebelum shalat sedangkan pada 'Ied dilakukan sesudah shalat. Inilah yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam dan para Khalifah-nya ar-Rasyidun. * terdapat perbedaan pendapat mengenai jumlah khuthbah shalat 'Ied; ada ulama yang mengatakan sekali saja dan ada yang mengatakan dua kali. Ibnu Qayyim al-Jauziah nampaknya menguatkan pendapat kedua, yakni dua kali.
o Shalat dalam dua 'Ied hukumnya adalah fardhu kifayah; untuk itu seorang Muslim harus berupaya secara optimal dalam melakuksanakannya, menghadiri serta mendengarkan khuthbahnya agar mendapatkan pahala dan mendapatkan manfaat dari wejangan dan at-Tadzkir (peringatan) yang disampaikan oleh Imam/khathib.
B. Islam sangat memperhatikan eksistensi kaum wanita dan menempatkan mereka kepada kedudukan yang agung dan tinggi; spesialisasi serta karakteristik mereka dalam beberapa hukum terlihat dalam hadits diatas, diantaranya:
o Bahwa Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam mengkhususkan bagian khuthbah tersendiri buat mereka dalam khuthbah 'Ied, setelah mewasiati dan mengingatkan kaum lelaki. Untuk itu, hendaknya seorang Imam/khathib pada 'Ied mengkhususkan khuthbahnya untuk mereka dan membicarakan problematika mereka. Khuthbah khusus ini diberikan bila mereka tidak mendengarkan khuthbah yang bersifat umum akan tetapi bila mereka mendengarkannya maka hendaknya dia menjadikan sebagian dari khuthbah tersebut, khusus berkaitan dengan perihal kaum wanita.
o Bahwa seorang wanita diharamkan berbaur dengan kaum lelaki atau berjejal dengan mereka baik hal itu dilakukan di masjid-masjid ataupun di tempat lainnya. Akan tetapi semestinya, kaum wanita berada di tempat-tempat yang sudah dikhususkan untuk mereka. Hal ini dimaksudkan agar terhindar dari hal-hal yang menyebabkan timbulnya fitnah atau menjadi sarana dalam melakukan hal-hal yang diharamkan. Tidak berbaurnya wanita dengan kaum lelaki sudah merupakan kaidah umum yang wajib difahami oleh seorang wanita Muslimah dan wali-nya karena banyak sekali faedah-faedah yang didapat dari hal tersebut.
o Mendapatkan 'ilmu merupakan hak semua orang; laki-laki dan wanita, untuk itu hendaknya seorang wanita berupaya secara optimal dalam menuntut ilmu yang dengannya dia memahami agamanya. Diantara sarana itu adalah: gairah serta semangatnya dalam mendengarkan wejangan-wejangan, juga, bertanya tentang hal-hal yang sulit baginya, sebagaimana tampak dalam hadits diatas.
o Secara global kaum wanita memiliki sifat-sifat, diantaranya: banyak keluhan/permintaan dan memungkiri kebaikan suami alias terhadap nafkah yang telah diberikan olehnya. Sifat-sifat ini merupakan sifat yang tercela yang dapat menggiringnya ke neraka. Oleh karena itu, seorang wanita Muslimah harus menghindari hal itu dan berupaya keras untuk menjauhinya.
o Ciri khas seorang wanita Muslimah adalah bersegera dalam berbuat kebajikan dan memenuhi panggilan iman. Hendaklah dia menambah aset kebajikannya sebanyak yang mampu dilakukan.
o Kepemilikan terhadap harta merupakan hak laki-laki dan wanita, masing-masing memiliki harta secara sendiri-sendiri dan kewenangan dalam memberdayakannya; oleh karena itulah, isteri-isteri para shahabat bersegera dalam menginfaqkan harta-harta mereka tanpa meminta izin terlebih dahulu dari suami-suami mereka. Seorang wanita berhak memberdayakan hartanya dan menginfaqkannya meskipun tidak mendapat izin dari sang suami. Dalam hal ini, Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam telah menyetujui tindakan isteri-isteri para shahabat radhiallaahu 'anhunna.
C. Khathib dan Penceramah memiliki tanggung jawab yang besar Hal ini disebabkan mereka adalah bertindak sebagai orang yang menyampaikan permasalahan halal dan haram dari Allah Ta'ala. Dari sini, seorang khathib hendaknya melakukan tanggung jawab tersebut sebaik-baiknya; menceramahi manusia dengan apa yang mereka ketahui, mengajarkan mereka hal-hal yang bersifat agamis dan duniawi yang tidak mereka ketahui, mensugesti mereka untuk berbuat kebajikan, memperingatkan mereka dari berbuat kejahatan serta menjelaskan kepada mereka hal-hal yang dapat mendekatkan diri mereka kepada surga dan menyelamatkan mereka dari neraka. Demikian pula, hendaknya mereka menghindari berbicara tentang hal-hal yang tidak bersinggungan langsung dengan kepentingan umum kaum muslimin dan hal yang tidak bermanfaat bagi agama mereka.
D. Sedekah memiliki faedah yang besar dan buah yang agung di dunia dan akhiratDiantaranya; bahwa ia menjaga dari keterjerumusan kedalam api neraka, dan ini diperkuat oleh sabda beliau yang lain: "takutlah kepada api neraka meskipun (bersedekah) dengan sebelah dari buah tamar/kurma".
E. Islam selalu berupaya agar seorang Muslim dalam berinteraksi dengan orang lain menggunakan manhaj yang transfaran dan proporsional meskipun terhadap orang yang paling dekat hubungannya dengannyaDengan demikian, dia mesti meletakkan sesuatu sesuai dengan proporsinya; yang memiliki keutamaan ditempatkan sesuai dengan keutamaannya, yang memiliki hak diberikan haknya yang sepatutnya, tidak mengurangi hak manusia, menjauhi setiap hal yang dapat menyakiti mereka serta menghindari perkataan yang kotor dan mungkir terhadap jasa yang telah diberikan kepadanya.
F. Seorang penuntut ilmu harus haus akan ilmu, banyak bertanya kepada gurunya tentang kesulitan yang dihadapinyaNamun, hendaknya pertanyaan yang disampaikan dilakukan dengan penuh kesopanan dan tatakrama agar dia mendapatkan jawaban sesuai dengan apa yang diinginkannya dari gurunya tersebut. (Rabu, 27-2-2002 M=15-12-1422 H)

Kebenaran Nubuat Rasulullah Dan Fenomena Tahun Baru Dikalangan Umat
عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ كاَنَ قَبْلَكُمْ شِبْراً بِشِبْرٍ وذِرَاعاً بِذِرَاعٍ, حَتَّى لَوْ سَلَكُوْا جُحْرَ ضَبٍّ لَسَلَكْتُمُوْهُ. قُلْنَا: يَارَسُوْلَ اللهِ, الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى ؟ قَالَ: فَمَنْ» ؟ . رواه البخاري
Dari Abu Sa’id (al-Khudry) bahwasanya Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh kalian akan mengikuti sunnah (cara/metode) orang-orang sebelum kamu, sejengkal-demi sejengkal, sehasta demi sehasta, hingga andaikata mereka menelusuri lubang masuk ‘Dlobb’ (binatang khusus padang sahara, sejenis biawak-red), niscaya kalian akan menelusurinya pula”.
Kami (para shahabat) berkata: “Wahai Rasulullah! (mereka itu) orang-orang Yahudi dan Nashrani?”. Beliau bersabda: “Siapa lagi (kalau bukan mereka-red)”. {H.R.al-Bukhary)
TAKHRIJ HADITS SECARA GLOBAL
Hadits ini diriwayatkan juga oleh Imam Muslim, Ahmad dan Ibnu Majah.
Dalam riwayat yang lain disebutkan: “…hingga andaikata mereka memasuki lubang masuk dlobb niscaya kalian akan memasukinya pula”.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Hakim dari Ibnu ‘Umar terdapat gambaran yang lebih jelas. Dari Ibnu ‘Umar radliallâhu 'anhuma, Rasulullah shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh Ummatku akan melakukan apa yang dilakukan oleh Bani Israil, sama persis layaknya sepasang sandal dengan pasangan yang lainnya, hingga andaikata pada mereka ada orang yang mengawini ibunya secara terang-terangan, maka di kalangan ummatku akan ada yang sepertinya”.
PENJELASAN HADITS
Makna hadits diatas adalah bahwa Rasulullah telah mensyinyalir melalui nubu-at (tanda-tanda kenabian)-nya, bahwa kelak di akhir zaman, ada diantara umatnya yang mengikuti gaya hidup orang-orang sebelum mereka, yaitu orang-orang Yahudi dan Nashrani.
Beliau menegaskan bahwa di dalam mengikuti dan meniru-niru gaya hidup mereka tersebut, umatnya melakukannya secara bertahap dari mulai sejengkal, sehasta dan seterusnya (sebagaimana terdapat di dalam tambahan riwayat yang lain).
Ketika Rasulullah menyinggung tentang orang-orang sebelum mereka, para shahabat seakan tahu siapa mereka itu, yaitu orang-orang Yahudi dan Nashrani, tetapi masih ragu dan ingin mendapatkan penegasan dari Rasullah.
Namun Rasulullah menjawabnya dengan gaya bahasa bertanya pula sebagai penegasannya: “Kalau bukan mereka, siapa lagi?”.
Hadits tersebut dimulai dengan tiga kata penegas; yaitu al-Qasam al-Muqaddar (Bentuk sumpah yang abstrak), al-Lâm serta an-Nûn. Semuanya di dalam tata bahasa Arab adalah merupakan bentuk penegasan dimana seharusnya kalimat aslinya berbunyi ‘Demi Allah, Sungguh kamu akan mengikuti…’.
Syaikh al-‘Utsaimin –rahimahullah- menyatakan bahwa kalimat ‘Latattabi’unna’ diarahkan kepada orang banyak (jama’) bukan kepada orang per-orang (mufrad). Ini menunjukkan bahwa yang dimaksudkan di dalam hadits ini bukan makna zhahirnya bahwa semua umat ini akan mengikuti cara/metode orang-orang sebelum mereka tetapi maksudnya disini adalah bersifat ‘âmm khâsh’ (umum tetapi khusus) sebab ada diantara umat ini yang tidak mengikuti hal tersebut. Tetapi bisa jadi juga, maknanya tetap umum (general) tetapi meskipun demikian, tidak mesti bahwa umat ini mengikuti sunnah umat terdahulu dalam segala halnya. Bisa jadi, ada sebagian yang mengikuti sisi yang satu ini dan sebagian yang lain mengikuti sisi yang lainnya. Maka dengan demikian, hadits ini tidak dapat diartikan bahwa umat ini telah keluar dari dien al-Islam. Makna ini adalah lebih pas sehingga hadits tersebut tetap di dalam keumuman maknanya. Tentunya yang harus kita ketahui bahwa ada diantara cara-cara hidup (sunnah/metode) orang-orang terdahulu yang tidak menyebabkan pelakunya keluar dari dien ini seperti memakan riba, dengki, prostitusi dan dusta. Sebagian lagi ada yang mengeluarkan pelakunya dari dien ini seperti menyembah berhala.
Hadits tersebut dimaksudkan untuk mengingatkan umat ini akan perihal tersebut sehingga mereka berhati-hati. Jadi, maknanya bukan menetapkan (iqrar) bahwa hal itu disetujui akan terjadinya sehingga membuat orang yang lemah imannya beralasan dengan hadits ini ketika akan melakukan perbuatan maksiat bahwa apa yang dilakukannya semata karena telah ditetapkan oleh Rasulullah sendiri. Sungguh ini merupakan ucapan dusta yang nyata terhadap beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam.
Semua perbuatan maksiat yang terjadi saat ini mesti ada asal-usulnya pada umat-umat terdahulu akan tetapi orang yang diberi taufiq oleh Allah untuk mendapatkan hidayah, maka dia akan mendapatkan hidayah tersebut. Artinya, ada semacam kesimpulan bahwa perbuatan maksiat yang terjadi pada umat ini memiliki akar dan asal-usul pada umat-umat masa lampau. Demikian pula, bahwa tidaklah ada perbuatan yang dilakukan oleh umat-umat masa lampau melainkan akan ada pewarisnya pada umat ini.
Imam an-Nawawy menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ungkapan “Syibr (sejengkal)” “ Dzirâ’ (sehasta)” “ Juhr adl-Dlobb (lubang masuk/rumah Dlobb) “ adalah sebagai perumpamaan betapa mirip dan hampir samanya apa yang kelak dilakukan oleh umat ini dengan apa yang telah dilakukan oleh orang-orang Yahudi dan Nashrani. Hal ini bukan di dalam melakukan kekufuran tetapi di dalam perbuatan maksiat dan pelanggaran-pelanggaran agama.
Dalam hadits yang lain disebutkan bahwa cara mengikuti itu ibarat bulu pada panah yang harus datar sehingga arah panahnya tidak nyasar. Demikian pulalah, kelak umat ini akan mengikuti sunnah umat-umat terdahulu seperti itu.
Ucapan Rasulullah ‘lubang masuk/rumah dlobb’ karena lubang dlobb merupakan lubang binatang yang paling kecil dan perumpamaan ini hanya dimaksudkan sebagai al-Mubâlaghah (berlebih-lebihan). Artinya, bahwa umat ini benar-benar akan mengikuti mereka hingga bila diajak masuk ke lubang yang paling kecil sekalipun.Tentunya, bila diajak untuk memasuki lubang/rumah singa yang lebih besar, lebih pasti lagi mereka akan mengikutinya.
Imam an-Nawawy –rahimahullah- menegaskan: “Ini merupakan mu’jizat yang nyata sekali dari Rasulullah shallallâhu 'alaihi wa sallam dan apa yang beliau beritakan telah benar-benar terjadi”.
Antara Nubu-at Rasulullah dan Fenomena Perayaan Tahun Baru
Bila kita mengamati secara seksama realitas yang ada menjelang berakhirnya setiap tahun Masehi, maka akan kita dapatkan seakan Rasulullah shallallâhu 'alaihi wa sallam berbicara tentang kondisi kontemporer saat ini.
Betapa tidak, hampir mayoritas umat ini merayakan datangnya Tahun Baru Masehi tersebut persis dengan apa yang dilakukan oleh pemilik Hari Besar tersebut, yaitu kaum Yahudi. Anehnya, di negeri ini dirayakan pula oleh kalangan Nashrani.
Perayaan yang berisi hura-hura, kemaksiatan dan pemubaziran dilakukan di hampir seluruh pelosok negeri, tidak oleh kalangan muda-mudi saja tetapi juga oleh orang-orang tua. Pada tengah malam menjelang pergantian tahun, mereka berpesta pora dan lelap dalam gegap-gempita serta suara hiruk-pikuk musik yang menggila. Beramai-ramai dalam suasana sesak, saling himpit dan bergaya dengan berbagai mode yang ada. Entah apa yang terjadi manakala ada sekumpulan muda-mudi dalam suasana mabok seperti itu dan di tengah malam dengan saling bergandengan dan seterusnya. Perbuatan maksiat dimana-mana dan secara terang-terangan sudah semakin berani dipertontonkan. Belum lagi ada acara mubazir yang tak kalah riuhnya dan merupakan fenomena yang diciptakan dan dimanfa’atkan oleh para pedagang ayam. Di sepanjang jalan menjelang malam itu, para pedagang ayam ini berjejer menjajakan ayam mereka sembari meneriakkan yel-yel tahun baru. Ayam yang dibeli tersebut kemudian dibakar hampir di seluruh perkampungan dan gang. Maka, asappun mengepul kemana-mana dan dari mana-mana. Anehnya, mereka seakan tidak peduli dengan suasana keprihatinan dan ekonomi yang lagi morat-marit. Mereka membeli dan membakar ayam dalam jumlah yang sangat besar sehingga banyak sekali ayam yang tersisa pada pagi harinya karena tidak ada lagi yang kuat memakannya selain binatang.
Bila melihat kepada namanya, sepertinya memperingati dan merayakan Tahun Baru Masehi identik dengan tahunnya orang-orang Nashrani saja. Tetapi sebenarnya, perayaan Tahun Baru tersebut merupakan bagian dari aktifitas rituil agama Yahudi dan Majusi (yang disebut dengan ‘an-Nayrûz’). Oleh karena itu, merekalah yang sebenarnya memiliki misi merayakan dan memeriahkannya bukan kaum Muslimin.
Sedangkan di dalam Islam, hanya dikenal tiga Hari Besar (‘Ied) yang memang disyari’atkan untuk dirayakan dan dimeriahkan; dua bersifat tahunan, yaitu ‘Iedul Fithri dan ‘Iedul Adlha serta satu lagi, bersifat pekanan, yaitu Hari Jum’at. Selain tiga Hari Besar ini, tidak dikenal peringatan dan perayaan hari besar lainnya, apalagi bila perayaan itu identik dengan agama selain Islam, seperti agama Nashrani, Yahudi atau Majusi.
Nah, yang menjadi masalah kemudian adalah keterlibatan sebagian besar dari umat mayoritas yang beragama Islam di dalamnya; Kenapa mereka ikut merayakan dan memeriahkannya juga? Tidak tahukah mereka bahwa perayaan itu khusus untuk non Muslim, khususnya, kaum Yahudi dan Majusi? Tahukah mereka bahwa hal ini bertentangan dengan ajaran agama? Bagaimana pengawasan dan kontrol ulama terhadap gejala-gejala seperti ini yang dapat merusak ‘aqidah umat?.
Tentu kita amat prihatin dengan nasib umat yang semakin lama semakin terkikis ‘aqidahnya, sedikit-demi sedikit sebagaimana yang disinyalir di dalam hadits Nabi tersebut.
Setidaknya –menurut hemat penulis-, ada dua faktor besar yang menyebabkan terjadinya hal tersebut:
Pertama, Kejahilan sebagian besar umat ini akan ajaran agama yang shahih. Kedua, Kurangnya kontrol para ulama, khususnya penekanan terhadap sisi ‘aqidah.
Mengenai faktor pertama ini, ia amat identik dengan pepatah yang mengatakan: “Manusia itu adalah musuh bagi apa yang tidak diketahuinya”. Dalam hal ini, bukan berarti umat selama ini tidak mengalami proses pembelajaran. Proses itu ada tetapi kurang terkoordinir dengan baik dan terfokus sehingga hasil yang didapatpun mengambang.
Proses pembelajaran sebagian besar umat selama ini hanya bertumpu kepada acara-acara ceremonial. Rujukan-rujukan yang digunakan dari sisi materi kurang memberikan tekanan kepada pemurnian ‘aqidah dari syirik dan penyakit TBC (Takhayyul, Bid’ah, Syirik dan Churafat) sementara dari sisi otentititas dan validitasnya kurang dapat dipertanggungjawabkan pula karena banyak sekali hadits-hadits yang dijadikan sebagai hujjah sangat lemah kualitasnya bahkan maudlu’/palsu.
Umat yang awam hanya mengerti bahwa acara-acara ceremonial semacam itu adalah bagian dari agama yang mereka anggap ‘wajib’ dilakoni dari masa ke masa dan secara turun-temurun. Bilamana ada salah seorang diantara mereka yang dianggap sebagai tokoh agama di suatu tempat sudah meninggal dunia, maka secara perlahan frekuensi acara tersebut dengan sendirinya akan menurun drastis. Mereka tidak mengerti apakah hal itu benar-benar dicontohkan oleh Rasulullah melalui dalil-dalilnya yang kuat dan shahih atau tidak. Apalagi bila ditanyakan kepada mereka tentang rujukannya, logika berfikir yang mereka fahami hanyalah bahwa hal itu ‘memang dari dulunya demikian’. Mereka hanya terbiasa dengan ‘taqlid buta’. Memang secara agama, bahwa apa yang dapat dilakukan oleh orang awam adalah taqlid kepada para ulamanya.
Selain acara-acara ceremonial tersebut, memang banyak sekali diadakan majlis-majlis ta’lim tetapi amat disayangkan bahwa bobot materinya kurang berimbang. Sangat sedikit –untuk tidak mengatakan hampir tidak pernah- di dalamnya menyentuh sisi ‘aqidah dan bagaimana mereka bisa terlepas dari kesyirikan dan penyakit TBC tersebut. Yang sering disuguhkan kepada mereka hanyalah masalah ‘Fadlâ-il A’mâl’ (amalan-amalan ekstra) seperti pahala ibadah yang ini sekian dan yang itu sekian namun banyak sekali pula hadits-hadits yang digunakan sebagai hujjah untuk itu, kualitasnya dla’if (lemah) sekali bahkan maudlu’/palsu. Sebagai contoh adalah shalat ar-Raghâ-ib dimana sebagaimana yang ditegaskan oleh Imam an-Nawawy bahwa hadits tentang ibadah ini sama sekali tidak ada landasannya yang shahih.
Maka, kejahilan di tubuh umat ini akan semakin parah bila faktor kedua juga tidak terbenahi.
Para ulama adalah pewaris para Nabi dan menjadi tumpuan berpijak umat di dalam mengarungi kehidupan keagamaan mereka. Ketika berbicara, maka seharusnya mereka menyadari bahwa posisi mereka adalah sebagai orang yang dimandati untuk mengatasnamakan agama dengan menggunakan firman-firman Allah dan hadits-hadits Rasulullah shallallâhu 'alaihi wa sallam.
Dengan posisi seperti ini, sudah sepatutnya bahkan wajib bagi mereka untuk memberikan pelajaran-pelajaran agama yang benar kepada umat sebab umat yang awam hanya bertaqlid kepada mereka. Mereka harus mengambil dalil-dalilnya dari rujukan yang dapat dipertanggungjawabkan dan valid sebab kelak mereka akan mempertanggungjawabkan hal ini di hadapan Allah Ta’ala.
Sudah sepantasnya, para ulama meneladani sikap para Imam empat Madzhab yang semuanya sepakat menyatakan keharusan untuk merujuk kepada hadits yang shahih. Imam Abu Hanifah dan Imam asy-Syafi’i mengatakan: “Bila hadits itu shahih, maka itulah madzhabku”. Imam Ahmad berkata: “Janganlah kalian mentaqlidiku, jangan pula mentaqlidi Malik, asy-Syafi’i, al-Awza’i dan ats-Tsawry tetapi ambillah darimana mereka mengambil”. Imam Malik berkata: “Tidak ada seorangpun setelah (wafatnya) Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam kecuali pendapatnya diambil atau ditinggalkan kecuali Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam”. Para Imam ini melarang umat dan pengikutnya mentaqlid mereka secara buta bahkan salah seorang dari mereka, yakni Abu Hanifah amat keras sekali ucapannya: “Haram bagi siapa yang tidak mengetahui dalilku untuk berfatwa dengan ucapanku”.
Ungkapan para Imam empat madzhab tersebut mengisyaratkan kepada kita bahwa bilamana suatu ketika kita menemukan hadits yang shahih dan hadits yang mereka jadikan hujjah adalah dla’if atau ada hadits yang lebih shahih dan kuat dari hadits yang mereka jadikan hujjah, maka mereka akan menjadikan hadits yang shahih atau lebih shahih dan kuat tersebut sebagai pendapat mereka. Ini juga menandakan bahwa mereka adalah orang yang berlapang dada di dalam menerima al-Haq dan sama sekali tidak menganggap pendapat mereka lebih benar dari yang lain sebab tolok ukurnya adalah kekuatan hujjah dan keshahihannya.
Perlu kita renungi pula bahwa ketika para imam tersebut mengatakan demikian, mereka menyadari betul bahwa ada hadits yang belum sampai kepada mereka baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga hadits yang mereka jadikan hujjah adalah hadits yang mereka anggap paling shahih yang sampai kepada mereka. Maka, agar umat dan pengikutnya jangan terperdaya dan terkungkung di dalam taqlid buta, mereka mengatakan seperti ungkapan-ungkapan tersebut sehingga mereka berlepas diri dari kesalahan yang kelak terjadi akibat hujjah mereka yang dipandang lemah atau kurang shahih dan kuat.
Disini, perlu ditekankan bahwa bilamana para ulama mengambil sikap seperti para Imam empat madzhab tersebut, tentulah kondisi umat dari sisi pembelajaran tersebut akan mencapai arah yang benar. Umat akan tenang dan yakin di dalam menjalankan ibadah mereka karena para ulama mereka interes terhadap dalil-dalil yang shahih dan kuat.
Dan, bilamana pula para ulama telah bersikap demikian maka berarti akan mudah bagi mereka untuk mengikis habis segala bentuk kesyirikan dan penyakit TBC yang sudah melanda umat begitu mereka mau meneliti bahwa hal tersebut tidak sesuai dengan sunnah Rasulullah shallallâhu 'alaihi wa sallam.
Terlebih lagi tentunya, bilamana mereka lebih memfokuskan kepada pemurnian ‘aqidah dari kesyirikan dan penyakit TBC tersebut tentu kejahilan umat akan ajaran agamanya yang kebanyakannya berupa pengamalan terhadap penyakit tersebut akan dapat teratasi dan terkikis sehingga perayaan semacam ‘Natal Bersama’ ‘Valentine Days’ ‘Tahun Baru (Happy New Year)’ dan sebagainya tidak akan mampu membuai dan menggoyahkan ‘aqidah mereka.
Inilah arti penting dari kontrol para ulama terhadap ‘aqidah umat dan upaya pemurniannya dari segala bentuk kesyirikan dan penyakit TBC diatas.
Dengan begitu, para ulama telah ikut andil di dalam mensosialisasikan hadits Rasulullah yang kita kaji ini dan dapat meminimalisir dampak dari apa yang telah disinyalir oleh Rasulullah tersebut.
Korelasi Antara Hadits Diatas Dengan Hadits Larangan Tasyabbuh
Terdapat korelasi yang amat jelas antara hadits ini dengan hadits larangan Tasyabbuh (menyerupai) dengan suatu kaum.
Dalam hadist diatas, Rasulullah mensinyalir bahwa umat ini akan mengikuti sunnah (cara/metode) orang-orang Yahudi dan Nashrani. Maka, di dalam mengkuti cara mereka tersebut terdapat penyerupaan di dalam banyak hal.
Dalam hadits Rasulullah banyak sekali larangan agar kita jangan menyerupai suatu kaum, terutama sekali terhadap orang-orang Yahudi dan Nashrani, diantaranya sabda beliau: “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia adalah bagian dari mereka”. (H.R.)
Imam al-Munawy dan al-‘Alqamy mengomentari makna ‘Barangsiapa menyerupai suatu kaum’, yakni secara zhahirnya dia berpakaian seperti pakaian mereka, mengikuti gaya hidup dan petunjuk mereka di dalam berpakaian serta sebagian perbuatan mereka.
Al-Qary mengatakan: “Barangsiapa menjadikan dirinya serupa dengan orang-orang kafir, misalnya di dalam berpakaian dan selainnya atau serupa dengan orang-orang fasiq, Ahli Tasawwuf atau serupa dengan orang-orang yang lurus dan baik, maka ‘dia adalah bagian dari mereka’, yakni di dalam mendapatkan dosa atau kebaikan/pahala”.
Dalam hal ini, kami tidak ingin mengupas panjang lebar tentang Tasyabbuh karena pembahasannya secara detail akan didapat pada pembahasan tentang hadits-hadist larangan tasyabbuh tersebut.
Yang jelas, fenomena merayakan ‘Tahun Baru’ tersebut masuk ke dalam katogeri larangan Tasyabbuh.
Imbauan
Kami mengimbau agar saudaraku, kaum Muslimin, membentengi diri dengan ‘aqidah yang benar sehingga tidak mudah tergoda oleh hal-hal yang dapat menodai, mengotori apalagi menggoyahnya.
Kepada para orangtua, hendaknya mengarahkan pendidikan agama yang memadai kepada anak-anak mereka terutama penekanan sisi ‘aqidah. Suruhlah mereka belajar agama kepada para ustadz yang dikenal kokoh dan lurus ‘aqidahnya. Tegurlah mereka bilamana melakukan perbuatan yang menyimpang dan tidak sesuai dengan ajaran Islam. Ajarkanlah mereka al-Walâ’ dan al-Barâ’ sehingga senantiasa bangga dengan agamanya dan loyal terhadap Allah dan Rasul-Nya serta tidak menyukai segala bentuk kesyirikan dan penyimpangan yang berupa penyakit TBC diatas.
Ajarkanlah mereka doa: “Ya Allah! anugerahilah kepada kami kecintaan terhadap iman, dan anugerahilah kami kebencian terhadap kekufuran, kefasikan dan perbuatan maksiat. Jadikanlah kami diantara orang-orang yang mendapat petunjuk”.
Kepada para ulama, tunjukkanlah kepada masyarakat contoh dan suriteladan yang baik. Ajarkanlah mereka bagaimana membentengi diri dari segala bentuk penyelewengan terhadap ‘aqidah. Arahkan mereka kepada manhaj ulama Salaf seperti para imam empat madzhab di dalam ‘aqidah dan menerima al-Haq. Bersama para tokoh masyarakat, berantaslah segala bentuk kesyirikan, bid’ah, khurafat dan kemaksiatan. Terbukalah kepada dan biasakanlah mereka untuk memperoleh rujukan yang shahih, kuat dan valid. Jangan biasakan mereka dengan ‘taqlid buta’.
Semoga kita semua mendapatkan petunjuk Allah Ta’ala dan senantiasa dibimbing oleh-Nya ke jalan yang diridlai-Nya. Amin. Wallahu a’lam
REFERENSI
CD MAUSÛ’AH AL-HADÎTS
SHAHIH AL-BUKHÂRY
SHAHIH MUSLIM DAN SYARAHNYA
AL-QAUL AL-MUFÎD ‘ALÂ KITÂB AT-TAUHÎD, KARYA SYAIKH SHALIH AL-‘UTSAIMIN
‘AUN AL-MA’BÛD SYARH SUNAN ABÎ DÂUD
‘IED AL-YÛBIEL, BID’ATUN FI AL-ISLAM, KARYA SYAIKH BAKR BIN ‘ABDULLAH, ABU ZAID
AL-MUSTADRAK, KARYA ABU ‘ABDILLAH, AL-HÂKIM

Ketika Allah Mencintai Hambanya
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ- رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ : » إِنَّ اللهَ تَعَالَى قَالَ: مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ، وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُهُ عَلَيْهِ، وَلاَ يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ، وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ، وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا، وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا، وَلَئِنْ سَأَلَنِي لَأُعْطِيَنَّهُ، وَلَئِن اسْتَعَاذَنِي لَأُعِيْذَنَُّّه « رواه البخاري
“Dari Abu Hurairah radhiallaahu 'anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda: ‘ Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman: ‘barangsiapa yang memusuhi wali-Ku, maka sungguh! Aku telah mengumumkan perang terhadapnya. Dan tidaklah seorang hamba bertaqarrub (mendekatkan diri dengan beribadah) kepada-Ku dengan sesuatu, yang lebih Aku cintai daripada apa yang telah Ku-wajibkan kepadanya, dan senantiasalah hamba-Ku (konsisten) bertaqarrub kepada-Ku dengan amalan sunnah hingga Aku mencintainya; bila Aku telah mencintainya, maka Aku adalah pendengarannya yang digunakannya untuk mendengar, dan penglihatannya yang digunakannya untuk melihat dan tangannya yang digunakannya untuk memukul dan kakinya yang digunakannya untuk berjalan; jika dia meminta kepada-Ku niscaya Aku akan memberikannya, dan jika dia meminta perlindungan kepada-Ku niscaya Aku akan melindunginya”. (H.R.al-Bukhâriy)
Riwayat Singkat Periwayat Hadits
Dia adalah sayyid al-Huffâzh, seorang shahabat yang agung, Abu Hurairah radhiallaahu 'anhu . Mengenai nama aslinya, demikian pula dengan nama ayahnya banyak sekali pendapat tentang hal itu dan masih diperselisihkan oleh para ulama. Namun pendapat yang paling rajih/kuat, bahwa namanya adalah ‘Abdurrahman bin Shakhr ad-Dausiy. Beliau masuk Islam pada tahun penaklukan Khaibar, yakni permulaan tahun 7 H.Imam adz-Dzahabiy berkata: “Dia banyak menimba ilmu yang baik dan penuh berkah dari Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam. Tidak ada orang yang mendapatkan kelebihan seperti itu seperti dirinya. Juga, tidak ada orang yang lebih banyak dalam meriwayatkan hadits dari Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam darinya. Hal ini dikarenakan dirinya senantiasa ber-mulâzamah dengan Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam (mengikuti beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam dan bersama-sama dengannya). Hadit-hadits yang diriwayatkannya mencapai 5374 hadits”.Imam al-Bukhâriy meriwayatkan dari Abu Hurairah juga bahwa dia berkata: “sesungguhnya kalian pernah berkata: ‘sesungguhnya Abu Hurairah banyak sekali meriwayatkan hadits dari Rasululullah Shallallâhu 'alaihi wasallam. Kalau begitu, kenapa orang-orang Muhajirin dan Anshar tidak meriwayatkan dari Rasulullah sebanyak yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah?’. Sesungguhnya saudara-saudaraku dari kaum Muhajirin tersebut disibukkan oleh aktivitas jual-beli mereka di pasar-pasar, sementara aku senantiasa ber-mulâzamah dengan beliau untuk mengisi perutku. Jadi, aku bisa hadir manakala mereka tidak hadir dan aku ingat manakala mereka lupa. Demikian pula dengan saudara-saudaraku dari kaum Anshar, mereka sibuk mengurusi harta-harta perdagangan mereka sementara aku ini adalah seorang miskin yang terdaftar dalam deretan orang-orang miskin ash-Shuffah (sebutan buat kaum papa yang tinggal di masjid Nabawiy dimana ada suatu tempat khusus buat mereka-red) sehingga aku selalu tanggap dan mengingat manakala mereka lupa.Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam telah bersabda dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhâriy dari Abu Hurairah sendiri: “Sesungguhnya tidak akan ada seseorang yang membentangkan pakaiannya hingga aku menyelesaikan semua ucapanku ini, kemudian dia mengumpulkan pakaiannya tersebut (menempelkannya ke tubuhnya) melainkan dia telah menangkap semua apa yang aku katakan”. Lalu aku membentangkan kain diatasku hingga bilamana Rasulullah menyelesaikan ucapannya, aku telah mengumpulkannya (menempelkannya) ke dadaku, lantas aku tidak lagi lupa sedikitpun dari ucapan beliau tersebut. Abu Hurairah wafat pada tahun 57 H.Catatan: Kisah ini menegaskan bahwa Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam tidak berbicara karena dorongan hawa nafsu tetapi adalah karena wahyu yang diwahyukan kepadanya (Q.,s. 53/an-Najm: 3-4), maka ucapan beliau tersebut sudah pasti benar dan terjadi -atas izin Allah- serta keistimewaan semacam ini hanya dimiliki oleh Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam saja dan tidak dimiliki oleh siapapun setelah beliau. Disamping itu, kisah ini juga menunjukkan bahwa para shahabat adalah generasi yang merupakan sebaik-baik abad dimana mereka selalu berlomba-lomba di dalam berbuat kebajikan apalagi dalam membenarkan dan melakukan suatu janji yang dijanjikan oleh Rasulullah yang sudah pasti benar dan terjadi. Banyak peristiwa yang menunjukkan hal itu, salah satunya adalah apa yang ditunjukkan oleh Abu Hurairah diatas. Jadi, tidak lebih dari itu. Wallahu a’lam -red).
PENJELASAN KEBAHASAAN
‎Ungkapan : [Innallâha Ta’âla Qâla: Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman] ; ini merupakan salah satu redaksi Hadîts Qudsiy.‎Ungkapan : [man ‘âdâ lî waliyyan: ‘barangsiapa yang memusuhi wali-Ku..] : terdapat variasi lafazh, diantaranya: “man âdzâ lî waliyyan” ; “man ahâna lî waliyyan faqad bârazanî bi al-Muhârabah” . Kata “al-Waliy” diambil dari kata al-Muwâlâh , makna asalnya adalah al-Qurb (dekat) sedangkan makna asal kata “al-Mu’âdâh” ( kata benda dari kata kerja ‘âdâ ) adalah al-Bu’d (jauh); Jadi, kata “al-Waliy” artinya orang yang dekat kepada Allah, melakukan keta’atan dan meninggalkan perbuatan maksiat.‎Ungkapan : [faqad âdzantuhû bi al-Harb: maka sungguh! Aku telah mengumumkan perang terhadapnya] : yakni maka sungguh Aku telah memberitahukan kepadanya bahwa Aku akan memeranginya sebagaimana dia memerangi-Ku dengan cara memusuhi para wali-Ku.‎Ungkapan : [wa mâ taqarraba ilayya ‘abdî bisyay-in ahabbu ilayya mimmaf taradltuhû ‘alaihi: Dan tidaklah seorang hamba bertaqarrub (mendekatkan diri dengan beribadah) kepadaKu dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada apa yang telah Ku-wajibkan kepadanya] : manakala Dia Ta’ala menyebutkan bahwa memusuhi para wali-Nya berarti memusuhi-Nya, maka Dia juga menyebutkan setelah itu kriteria-kriteria para wali-Nya yang haram dimusuhi dan wajib loyal terhadapnya (dijadikan wali); yaitu bahwa para wali Allah adalah orang-orang yang mendekatkan diri kepada-Nya dengan sarana yang dapat mendekatkan diri mereka kepada-Nya dimana sarana utamanya adalah melaksanakan farâ-idl (ibadah-ibadah wajib).‎Ungkapan : [fa idzâ ahbabtuhû kuntu sam’ahu al-Ladzî yasma’u bihî, wa basharahu al-Ladzî yubshiru bihî, wa yadahu al-Latî yabthisyu bihâ wa rijlahu al-Latî yamsyî bihâ: bila Aku telah mencintainya, maka Aku adalah pendengarannya yang digunakannya untuk mendengar, dan penglihatannya yang digunakannya untuk melihat dan tangannya yang digunakannya untuk memukul dan kakinya yang digunakannya untuk berjalan] : maksudnya adalah bahwa barangsiapa yang bersungguh-sungguh dalam bertaqarrub kepada Allah dengan melaksanakan ibadah-ibadah wajib yang diembankan kepadanya, kemudian menambahnya dengan ibadah-ibadah sunnah, maka Allah akan mendekatkan dirinya kepada-Nya, meningkatkan derajat iman nya kepada derajat ihsân ; maka ketika itu, dia dalam beribadah kepada Allah menjadi selalu ber-murâqabah (menjadikan dirinya selalu di bawah pengawasan Allah) seakan-akan dia melihat-Nya. Karenanya pula, hatinya menjadi penuh oleh ma’rifat kepada Allah, mahabbah (mencintai)-Nya, mengagungkan-Nya, takut kepada-Nya, senang dekat dengan-Nya dan merindukan-Nya. Maka, jadilah orang yang sedemikian terisi ma’rifah kepada Allah di hatinya melihat-Nya dengan ‘ain bashîrah (pandangan batin)-nya; maka jika dia bicara, dia berbicara karena Allah, sesuai dengan yang diridlai oleh-Nya dan atas taufiq-Nya; jika mendengar, dia mendengar karena-Nya sesuai dengan yang diridlai-Nya dan atas taufiq-Nya; jika melihat, dia melihat karena-Nya sesuai dengan yang diridlai-Nya dan atas taufiqNya dan jika memukul/melakukan kekerasan, maka dia memukul/melakukan kekerasan karena-Nya dalam hal yang diridlai-Nya dan atas taufiq-Nya.‎Ungkapan : [wa la-in sa-alanî la-u’thiannahû …: jika dia meminta kepadaKu niscaya Aku akan memberikannya, dan jika dia meminta perlindungan kepadaKu niscaya Aku akan melindunginya] : yakni bahwa orang yang dicintai dan dekat di sisi Allah memiliki kedudukan khusus yang konsekuensinya bila dia meminta sesuatu kepada-Nya, pasti akan Dia berikan untuknya; jika meminta perlindungan kepada-Nya dari sesuatu, pasti Dia melindungi dirinya darinya dan jika dia berdoa kepada-Nya, pasti Dia mengabulkannya; dengan demikian dia menjadi orang yang selalu terkabul doanya karena kemuliaan dirinya di sisi Allah.
BEBERAPA PELAJARAN DAN HUKUM TERKAIT
1. Melakukan perbuatan-perbuatan ta’at baik yang wajib-wajib maupun yang sunnah-sunnahnya dan menjauhi diri dari semua bentuk maksiat baik yang kecil maupun yang besar akan membuat seorang hamba pantas menjadi salah seorang wali Allah yang dicintai-Nya dan mencintai-Nya, Dia Ta’ala mencintai orang yang dicintai oleh para wali-Nya, mengumumkan perang terhadap orang yang memusuhi, mengganggu, membenci, memojokkan dan menghadang mereka dengan suatu kejahatan atau gangguan. Allah-lah yang akan menolong dan membantu para wali-Nya tersebut.
2. Wajib menunjukkan sikap loyal terhadap para wali Allah dan mencintai mereka serta haram memusuhi mereka. Demikian pula, wajib memusuhi musuh-musuh-Nya dan haram menunjukkan sikap loyal terhadap mereka. Allah berfirman: “…janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia…”. (Q.,s. al-Mumtahanah: 1) , Dan firmanNya: “Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang”. (Q.,s. al-Mâ-idah: 56) Dalam kedua ayat tersebut, Allah memaparkan bahwa sifat dari orang-orang yang dicintai dan mencintai-Nya adalah bahwa mereka itu merasa hina dihadapan orang-orang beriman dan merasa bangga dan penuh percaya diri (‘izzah) dihadapan orang-orang Kafir.
3. Hadits diatas juga menunjukkan bahwa para wali Allah ada dua macam: Pertama, mereka yang bertaqarrub kepada-Nya dengan melaksanakan ibadah-ibadah wajib ; ini merupakan derajat kaum Muqtashidûn, Ashhâb al-Yamîn (orang-orang yang menempuh jalan yang lurus dan menjadi golongan kanan). Melaksanakan ibadah-ibadah wajib merupakan amalan yang paling utama sebagaimana diucapkan oleh ‘Umar bin al-Khaththab radhiallaahu 'anhu : “seutama-utama amalan adalah melaksanakan apa yang diwajibkan oleh Allah, menjauhi apa yang diharamkan-Nya serta niat yang jujur semata-mata mengharap ridla-Nya”.Kedua, mereka yang bertaqarrub kepadaNya, disamping melaksanakan ibadah-ibadah wajib tersebut, juga bersungguh-sungguh dalam melaksanakan ibadah-ibadah sunnah dan keta’atan dan menghindari semua yang dilarang; hal-hal inilah yang memastikan seorang hamba mendapatkan mahabbah Allah (kecintaan dari-Nya) sebagaimana dalam sabda Rasulullah diatas: “dan senantiasalah hamba-Ku (konsisten) bertaqarrub kepadaKu dengan amalan sunnah hingga Aku mencintainya”.
4. Orang yang dicintai oleh Allah, maka Dia akan menganugerahinya mahabbah terhadap-Nya, mena’ati-Nya, bergiat dalam berzikir dan beribadah kepada-Nya, menenteramkan hatinya untuk selalu melakukan amalan yang dapat mendekatkan dirinya kepada-Nya. Dengan anugerah itu, maka orang tersebut berhak menjadi orang yang dekat dengan-Nya dan mendapatkan keberuntungan di sisi-Nya. Allah Ta’ala berfirman: ‘Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang mutad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah-lembut terhadap orang-orang mu'min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siap yang dihendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”. (Q.,s. al-Mâ-idah: 54).
5. Hal yang paling penting dan menjadi tuntutan setiap hamba adalah mendapatkan mahabbah dari-Nya sebab orang yang mendapatkannya maka dia akan mendapatkan dua kebaikan; dunia dan akhirat. Sebagai seorang mukmin sejati yang sangat ingin untuk menjadi salah seorang dari para wali Allah tentu berupaya mendapatkan tuntutan yang amat berharga ini tetapi untuk merealisasikannya diperlukan beberapa hal:
a. Melaksanakan ibadah-ibadah wajib yang sudah diwajibkan oleh Allah Ta’ala sebagaimana yang terdapat dalam penggalan hadits diatas: “Dan tidaklah seorang hamba bertaqarrub (mendekatkan diri dengan beribadah) kepadaKu dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada apa yang telah Ku-wajibkan kepadanya”. Yaitu, dengan membetulkan dan meluruskan at-Tauhîd, melaksanakan shalat wajib, zakat wajib, puasa Ramadlan, haji ke Baitullah al-Haram, birr al-Wâlidain (berbakti kepada kedua orangtua), menyambung rahim (silaturrahim), berakhlaq yang mulia seperti jujur, dermawan, bertutur kata yang manis, tawadlu’ dan lain-lainnya.
b. Menjauhkan diri dari hal-hal yang diharamkan, baik kecil maupun besar, dan dari apa saja hal-hal makruh yang sebenarnya mampu dilakukannya.
c. Bertaqarrub kepada Allah dengan ibadah-ibadah sunnah mulai dari shalat, sedekah, puasa, amalan-amalan kebajikan, dzikir, membaca al-Qur’an, amar ma’ruf nahi munkar dan lain-lainnya. Diantara yang patut disinggung berkenaan dengan ibadah-ibadah tersebut adalah:1.memperbanyak baca al-Qur’an diiringi dengan tafakkur dan renungan, mendengarnya diiringi dengan tadabbur dan pemahaman, menghafal ayat-ayatnya yang mudah, mengulang-ulanginya serta senantiasa menjaganya agar tidak lupa. Tentunya, tidak ada suatu ucapanpun yang lebih manis bagi para pencinta selain ucapan orang yang dicintainya; maka Kalamullah adalah lebih utama untuk dicintai karena memberikan kenyamanan tersendiri bagi hati mereka dan merupakan puncak dari sumua tuntutan mereka. Diantara sarana yang dapat membantu terlaksananya hal tersebut -disamping doa, tekad bulat dan keinginan keras- adalah konsistensi dalam membaca al-Qur’an sebanyak satu juz di dalam sehari semalam dan semampunya berupaya agar tidak lalai dari konsistensi tersebut.2.memperbanyak dzikir kepada Allah Ta’ala baik melalui lisan maupun hati sebagaimana terdapat dalam hadits yang shahih dari Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam: “Allah Ta’ala berfirman: ‘Aku (selalu) di sisi sangkaan (baik) hamba-Ku terhadap-Ku, dan Aku (selalu) bersamanya manakala dia mengingat-Ku; jika dia mengingat-Ku di dalam dirinya, maka Aku mengingatnya di dalam diri-Ku; jika dia mengingat-Ku di hadapan khalayak (orang banyak), maka Aku mengingatnya pula di hadapan khalayak yang lebih baik dari mereka (malaikat)”. Allah berfirman: “…maka ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku akan ingat kepadamu”.(Q.,s. al-Baqarah: 152)
6. Bahwa adalah bohong belaka bila ada pengakuan yang menganggap selain cara berbuat keta’atan dan berloyalitas kepada Allah yang disyariatkanNya melalui lisan Rasul-Nya, dapat menyampaikan seseorang kepada mahabbah Allah dan menjadi wali-Nya sepertihalnya orang-orang Musyrik yang menyembah selain Allah dengan anggapan bahwa mereka semata hanya ingin mendekatkan diri mereka kepada Allah dengan cara tersebut sebagai yang dikisahkan oleh Allah tentang mereka dalam firman-Nya (artinya):"Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya". (Q.,s.az-Zumar: 3). Demikian pula, sebagai yang diceritakan oleh Allah berkenaan dengan orang-orang Yahudi dan Nashrani, bahwa mereka berkata dalam firman-Nya (artinya) : "Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya". (Q.,s. al-Mâ-idah: 18) padahal mereka ngotot mendustai para Rasul-Nya, melanggar larangan-Nya serta meninggalkan kewajiban-kewajiban yang diembankan-Nya kepada mereka. Jadi, setiap orang yang menempuh selain jalan yang sudah disyari’atkan oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, maka dia tidak akan mencapai wilâyatullâh (kewalian yang dianugerahkan oleh Allah) dan mahabbah-Nya.
7. Setiap Muslim sangat menginginkan agar doanya dikabulkan, amalannya diterima, permintaannya diberi serta mendapatkan perlindungan dari-Nya. Hal ini semua adalah tuntutan yang amat berharga dan anugerah yang agung yang tidak akan dapat dicapai kecuali oleh orang yang menempuh jalan menuju wilâyatullâh, yaitu melaksanakan ibadah-ibadah yang diwajibkan-Nya plus ibadah-ibadah sunnah seoptimal mungkin diiringi dengan niat yang tulus (an-Niyyah al-Khâlishah), mengikuti Nabi serta berjalan diatas manhajnya (al-Mutâba’ah). (Disadur dari tulisan berjudul asli: “Taqarrab yuhibbukallâh” karya Syaikh Nâshir asy-Syimâliy)

Keutamaan Membaca Shalawat Atas Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam
Allah berfirman : Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya. (QS. 33:56)
Dan Shalawat dari Allah atas hamba-hambanya berarti pujian dari Allah kepada mereka di hadapan malail'ala.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : Artinya : apabila kamu mendengar adzan maka katakanlah seperti apa yang diucapkan oleh muadzdzin, kemudian bershalawatlah atasku, karena barang siapa yang bershalawat atasku satu kali, maka Allah akan bershalawat atasnya sepeluh kali, kemudian mohonlah kepada Allah untukku wasilah karena wasilah adalah kedudukan di surga yang tidak layak kecuali bagi seorang hamba dari hamba-hamba Allah dan saya sungguh berharap menjadi orang yang mendapatkannya, dan barang siapa memohonkan untukku wasilah maka dia akan mendapatkan syafa'at. HR. Muslim.Sesungguhnya dari hari-hari kalian yang paling utama adalah hari jum'at, di hari itu Adam 'alaihis salam diciptakan, dan di hari itu dia meninggal, dihari itu ditiupnya sangkakala ( tiupan pertama yang pada waktu itu alam semesta menjadi hancur ), di hari itu terjadi matinya semua makhluq ( kecuali yang dihendaki Allah ), oleh karena itu perbanyaklah shalawat atasku pada hari itu, karena shalawat kamu ditampakkan kepadaku. Para sahabat berkata : wahai utusan Allah ! bagaimana ditampakkan kepadamu shalawat kami, palahal engkau sudah hancur luluh ? maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab : Sesungguhnya Allah mengharamkan kepada bumi jasad para nabi shallallahu 'alaihim wasallam. HR. Abu Daud, dan telah dishahihkan oleh An-Nawawi dalam kitab Riyadhus shalihin, dan Syaikh Albani dalam shahihil Jami'. 2212 Janganlah kalian menjadikan rumah-rumah kalian kuburan ( tidak dibaca Al-Qur'an, tidak dilaksanakan shalat di dalamnya dll ) dan janganlah kalian jadikan kuburanku tempat yang selalu dikunjungi dengan berulang-ulang, dan bershalawatlah atasku, karena shalawat kalian sampai kepadaku di manapun kalian berada. HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh An-Nawawi dan Albani dalam kitab shahih al-Jami' 7226.Tiada seorangpun yang mengucapkan salam kepadaku kecuali Allah mengembalikan kepadaku ruhku sehingga aku membalas salam tersebut. HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh An-Nawawi dan Albani dalam kitab shahih al-Jami' 5679.Celakalah orang yang aku disebut padanya, lalu dia tidak mengucapkan shalawat atasku. HR. Tirmidzi dan dishahihkan oleh Albani dalam kitab shahih Al-Jami' 3510
Keterangan singkat :
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mempunyai hak yang harus dipenuhi oleh ummatnya, diantara hak tersebut adalah kewajiban mencintainya, dan dari kecintaan itu adalah memperbanyak membaca shalawat atasnya pada setiap waktu, dan Allah telah memerintahkan kaum mu'minin untuk melakukan hal itu dan menjanjikan mereka dangan ganjaran yang agung, dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memberitahukan bahwa kehinaanlah bagi orang yang Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam disebut padanya sedang ia tidak mengucapkan shalawat atasnya.
Pelajaran dari hadits di atas :
· Diperintahkannya mengucapkan shalawat atas Nabi shallallahu 'alaihi wasallam .
· Disunnahkannya memperbanyak shalawat atas Nabi shallallahu 'alaihi wasallam khususnya pada hari Jum'at.
· Balasan yang agung bagi mereka yang mengucapkan shalawat atas Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.

Keutamaan Tasbih
Mukaddimah
Secara bahasa, kata Tasbîh berasal dari kata kerja Sabbaha Yusabbihu yang maknanya menyucikan. Dan secara istilah, kata Tasbîh adalah ucapan سُبْحَانَ اللهِ . Ucapan ini merupakan dzikir kepada Allah yang merupakan ibadah yang agung.
Dalam hal ini, terdapat banyak kaidah di dalamnya dimana secara global dapat dikatakan bahwa setiap kaidah yang digunakan untuk menolak perbuatan bid’ah dan berbuat sesuatu yang baru di dalam agama, maka ia adalah kaidah yang cocok untuk diterapkan pula pada beberapa parsial (bagian) penyimpangan di dalam berdzikir dan berdoa, karena dzikir, demikian juga doa, adalah murni masalah ‘ubudiyyah kepada Allah Ta’ala. Sedangkan kaidah dari semua kaidah di dalam hal tersebut adalah bahwa semua ‘ibadah bersifat tawqîfiyyah, yang diformat dalam ungkapan, “Melakukan ibadah hanya sebatas nash dan sumbernya.”Kalimat tersebut direduksi dari nash-nash yang beragam, diantaranya hadits shahih yang menyatakan bahwasanya Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang melakukan sesuatu yang baru di dalam urusan kami ini (agama) sesuatu yang tidak terdapat di dalamnya, maka ia tertolak.”
Dan hadits shahih yang lainnya bahwasanya Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam bersabda,
كُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ
“Setiap sesuatu yang baru (diada-adakan) maka ia adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat dan setiap kesesatan (tempat pelakunya) adalah di neraka.”
Oleh karena itu, hendaknya kita berhati-hati di dalam melakukan suatu bentuk ibadah dan harus selalu mengacu kepada dalil-dalil yang jelas dan shahih serta kuat yang terkait dengannya sebab bila tidak, maka dikhawatirkan amal yang dilakukan tersebut justeru menjerumuskan pelakunya ke dalam hal yang disebut dengan Bid’ah tersebut sekalipun dalam anggapannya hal tersebut adalah baik.
Tentunya, di dalam kita melakukan apapun bentuk ibadah, termasuk dalam hal ini, dzikir, harus mengikuti (mutaba’ah) kepada Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam sehingga kita tidak menyimpang dari manhaj yang telah digariskannya.Perlu diketahui bahwa mutâba’ah tersebut tidak akan tercapai kecuali apabila amal yang dikerjakan sesuai dengan syari’at dalam enam perkara:
Pertama, sebab Jika seseorang melakukan suatu ibadah kepada Allah dengan sebab yang tidak disyari’atkan, maka ibadah tersebut adalah bid’ah dan tidak diterima (ditolak). Contoh: ada orang yang melakukan shalat tahajjud pada malam dua puluh tujuh bulan Rajab dengan dalih bahwa malam itu adalah malam mi’raj Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam (dinaikkkan ke atas langit). Shalat tahajjud adalah ibadah, tetapi karena dikaitkan dengan sebab tersebut menjadi bid’ah. Karena ibadah tadi didasarkan atas sebab yang tidak ditetapkan dalam syari’at. Syarat ini – yaitu: ibadah harus sesuai dengan syari’at dalam sebabnya- adalah penting, karena dengan demikian dapat diketahui beberapa macam amal yang dianggap termasuk sunnah namun sebenarnya adalah bid’ah.
Kedua, jenisArtinya, ibadah harus sesuai dengan syari’at dalam jenisnya. Jika tidak, maka tidak diterima. Contoh: seorang yang menyembelih kuda untuk kurban adalah tidak sah, karena menyalahi ketentuan syari’at dalam jenisnya. Yang boleh dijadikan qurban yaitu onta, sapi dan kambing.
Ketiga, kadar (bilangan)Kalau ada seseorang yang menambah bilangan raka’at suatu shalat, yang menurutnya hal itu diperintahkan, maka shalat tersebut adalah bid’ah dan tidak diterima, karena tidak sesuai dengan ketentuan syari’at dalam jumlah bilangan raka’atnya. Jadi, apabila ada orang shalat zhuhur lima raka’at, umpamanya, maka shalatnya tidak shah.
Keempat, kaifiyyah (cara)Seandainya ada orang berwudhu dengan cara membasuh tangan, lalu muka, maka tidak sah wudhu’nya karena tidak sesuai dengan cara yang ditentukan syar’ait.
Kelima, waktu Apabila ada orang menyembelih binatang qurban pada hari pertama bulan dzul hijjah, maka tidak shah karena waktu melaksanakannya tidak menurut ajaran Islam. Misalnya, ada orang yang bertaqarrub kepada Allah pada bulan Ramadhan dengan menyembelih kambing. Amal seperti ini adalah bid’ah karena tidak ada sembelihan yang ditujukan untuk bertaqarrub kepada Allah kecuali sebagai qurban, denda haji dan ‘aqiqah. Adapun menyembelih pada bulan Ramadhan dengan i’tikad mendapat pahala atas sembelihan tersebut sebagaimana dalam idul Adhha adalah bid’ah. Kalau menyembelih hanya untuk memakan dagingnya, boleh saja.
Keenam, tempat Andaikata ada orang beri’tikaf di tempat selain masjid, maka tidak shah I’tikafnya. Sebab tempat I’tikaf hanyalah di masjid. Begitu pula, andaikata ada seorang wanita hendak beri’tikaf di dalam mushallla di rumahnya, maka tidak shah I’tikafnya karena empat melakukannnya tidak sesuai dengan ketentuan syari’at.
Contoh lainnya: seseorang yang melakukan thawaf di luar masjid haram dengan alasan karena di dalam sudah penuh sesak, thawafnya tidak shah karena tempat melakukan thawaf adalah dalam baitullah tersebut, Allah berfiman: “dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang thawaf”. (Q.S. al-Hajj: 26).
Terkait dengan kajian hadits kali ini, tema yang kami angkat adalah masalah keutamaan Tasbih, yaitu ucapan seperti yang disebutkan dalam hadits di bawah ini, dan lafazh semisalnya yang terdapat di dalam hadits-hadits yang lain. Lafazh Tasbih dalam hadits kita kali ini, bukanlah satu-satunya lafazh yang memiliki nilai amal yang tinggi, ada lagi lafazh-lafazh yang lainnya yang bisa di dapat di dalam buku-buku tentang dzikir atau bab-bab tentang dzikir dalam kitab-kitab hadits.
Dzikir kita kali ini adalah dzikir yang terdapat di dalam hadits yang shahih dan telah disebutkan kapan waktunya, yaitu bisa dilakukan setiap hari namun tidak disebutkan lebih lanjut kapan tepatnya, sehingga dapat dikategorikan mengenai waktu yang tepatnya ini ke dalam dzikir yang mutlak alias kapan saja, di luar dzikir-dzikir yang telah ditentukan waktunya.
Semoga kita dapat memaknai, menghayati dan mengamalkannya sehingga tidak luput dari pahala yang sedemikian besar ini. Amin.
Naskah Hadits
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهَ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ قَالَ سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ فِي يَوْمٍ ِمائَةَ مَرَّةٍ حُطَّتْ عَنْهُ خَطَايَاهُ وَإِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ .
Dari Abu Hurairah radliyallâhu 'anhu bahwasanya Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam bersabda, “Barangsiapa yang mengucapkan ‘Subhânallâhi Wa Bihamdihi’ di dalam sehari sebanyak seratus kali, niscaya akan dihapus semua dosa-dosa (kecil)-nya sekalipun sebanyak buih di lautan.” (HR.al-Bukhariy)
Faedah Hadits
1. Hadits diatas menyatakan keutamaan dzikir سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ (Subhânallâhi wa bihamdihi) yang mengandung makna Tasbih (penyucian) terhadap Allah Ta’ala dan penyucian terhadap-Nya pula dari hal-hal yang tidak layak dan pantas bagi-Nya, seperti memiliki kekurangan-kekurangan, cacat-cela dan menyerupai semua makhluk-Nya.
2. Hadits tersebut juga mengandung penetapan segala pujian hanya kepada-Nya baik di dalam Asma` maupun shifat-Nya. Dia-lah Yang Maha Hidup sesempurna hidup; kehidupan yang tiada didahului ketiadaan (yakni bukan dalam arti; sebelumnya tidak ada kehidupan lalu kemudian ada) dan tiada pula kehidupan itu akan pernah hilang/sirna.
3. Barangsiapa yang bertasbih kepada Allah dan memuji-Nya sebanyak seratus kali di dalam sehari semalam, maka dia akan mendapatkan pahala yang maha besar ini. Yaitu, semua dosa-dosa (kecil)-nya dihapuskan dengan mendapatkan ma’af dan ampunan-Nya, sekalipun dosa-dosa tersebut sebanyak buih di lautan. Tentunya, ini merupakan anugerah dan pemberian yang demikian besar dari-Nya.
4. Para ulama mengaitkan hal ini dan semisalnya sebatas dosa-dosa kecil saja sedangkan dosa-dosa besar tidak ada yang dapat menghapus dan menebusnya selain Taubat Nashuh (taubat dengan sebenar-benarnya).
5. Imam an-Nawawiy berkata, “Sesungguhnya bila dia tidak memiliki dosa-dosa kecil, maka semoga diharapkan dapat meringankan dosa-dosa besarnya.”
Rujukan: 1. Kitab Tawdlîh al-Ahkâm Min Bulûgh al-Marâm, karya Syaikh. ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Bassâm, Jld.VI, Hal.409)2. Tashhîh ad-Du’â’ karya Syaikh Bakr Abu Zaid, Hal. 393. Kesempurnaan Islam Dan Bahaya Bid’ah, karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah

Kezaliman Adalah Kegelapan diHari Kiamat
Banyak diantara umat Islam yang tidak menyadari bahwa dirinya telah melakukan suatu perbuatan yang menyakiti orang lain lantas membiarkan hal itu berlalu begitu saja tanpa meminta ma’af kepadanya atas perbuatannya tersebut. Hal ini bisa disebabkan oleh ego yang terlalu tinggi, menganggap hal itu adalah sepele, kurang memahami ajaran agamanya sehingga tidak mengetahui implikasinya, dan sebagainya. Padahal sebenarnya amat berbahaya dan akan membebankannya di hari Akhirat kelak karena harus mempertanggungjawabkannya. Perbuatan tersebut tidak lain adalah kezhaliman.
Kezhaliman adalah sesuatu yang dibenci baik di muka bumi ini maupun di akhirat kelak dan pelakunya hanyalah mereka yang menyombongkan dirinya.
Banyak bentuk kezhaliman yang berlaku di dunia ini, yaitu tidak jauh dari definisinya ; “menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya”. Betapa banyak orang-orang yang seenaknya berbuat dan bertindak sewenang-wenang. Sebagai contoh: Sang suami sewenang-wenang terhadap isterinya; memperlakukannya dengan kasar, menceraikannya tanpa sebab, menelantarkannya dengan tidak memberinya nafkah baik lahir maupun batin. Sang pemimpin sewenang-wenang terhadap rakyat yang dipimpinnya; diktator, tangan besi, berhukum kepada selain hukum Allah, loyal terhadap musuh-musuh Allah, tidak menerima nasehat, korupsi dan sebagainya. Tetangga berbuat semaunya terhadap tetangganya yang lain; membuat bising telinganya dengan suara tape yang keras dan lagu-lagu yang menggila, menguping rahasia rumah tangganya, usil, membicarakan kejelekannya dari belakang, mengadu domba antar tetangga dan yang juga banyak sekali terjadi adalah mencaplok tanahnya tanpa hak, berapapun ukurannya. Dan banyak lagi gambaran-gambaran lain yang ternyata hampir semuanya dapat dikategorikan “perbuatan zhalim” karena “menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya”.
Oleh karena itu, pantas sekali kenapa Allah mengecam dengan keras para pelakunya dan bahkan mengharamkannya atas diri-Nya apatah makhluk-Nya.
Dan pantas pula, ia (kezhaliman) merupakan tafsir lain dari syirik karena berakibat fatal terhadap pelakunya.
Maka, bagi mereka yang pernah berbuat zhalim terhadap orang lain – sebab rasanya sulit mendapatkan orang yang terselamatkan darinya sebagaimana yang pernah disalahtafsirkan oleh para shahabat terkait dengan makna kezhaliman dalam ayat “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezhaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk”. (Q,.s. al-An’âm/6: 82). Mereka secara spontan, begitu ayat tersebut turun dan sebelum mengetahui makna dari ‘kezhaliman’ yang sebenarnya berkomentar: “Wahai Rasulullah! siapa gerangan diantara kita yang tidak berbuat zhalim terhadap dirinya?”. Tetapi, pemahaman ini kemudian diluruskan oleh Rasulullah dengan menyatakan bahwa maksud ayat tersebut adalah sebagaimana yang disebutkan dalam firman-Nya yang lain: “Sesungguhnya syirik itu merupakan kezhaliman yang besar” (Q.,s. Luqmân/31: 13) – maka hendaknya mereka segera meminta ma’af kepada yang bersangkutan dan memintanya menghalalkan atas semua yang telah terjadi selagi belum berpisah tempat dan sulit bertemu kembali dengannya serta selama masih di dunia.
Hanya keterkaitan dalam kezhaliman terhadap sesama makhluk ini yang tidak dapat ditebus dengan taubat sekalipun. Taubat kepada Khaliq berkaitan dengan hak-hak-Nya; maka, Dia akan menerimanya bila benar-benar taubat nashuh tetapi bila terkait dengan sesama makhluq, maka hal itu terpulang kepada yang bersangkutan dan harus diselesaikan terlebih dahulu dengannya ; apakah dia mema’afkan dan menghalalkan kezhaliman yang terlah terjadi atasnya atau tidak.
Untuk itu, umat Islam perlu mengetahui lebih lanjut apa itu kezhaliman? apa implikasinya di dunia dan akhirat? bagaimana dapat terhindarkan darinya? Perbuatan apa saja yang memiliki kaitan dan digandeng dengannya?.
Insya Allah, kajian hadits kali ini berusaha menyoroti permasalahan tersebut, semoga bermanfa’at.
Naskah Hadits
1. عَنِ ابْنِ عُمَرَ رضي الله عنهما قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: « الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ». متّفق عليه
Dari Ibnu ‘Umar –radhiallaahu 'anhuma- dia berkata: Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda: “Kezhaliman adalah kegelapan (yang berlipat) di hari Kiamat”. (Muttafaqun ‘alaih)
2. عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللّهِ أَنّ رَسُولَ اللّهَ صلى الله عليه وسلم قَالَ: «اتَّقُوا الظُّلْمَ. فَإِنّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ. وَاتَّقُوا الشُّحَّ. فَإِنّ الشُّحَّ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ ». رواه مسلم
Dari Jâbir bin ‘Abdillah bahwasanya Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda: “berhati-hatilah terhadap kezhaliman, sebab kezhaliman adalah kegelapan (yang berlipat) di hari Kiamat. Dan jauhilah kebakhilan/kekikiran karena kekikiran itu telah mencelakakan umat sebelum kamu”. (H.R.Muslim)
Definisi kezhaliman (azh-Zhulm)
Kata “azh-Zhulm” berasal dari fi’l (kata kerja) “zhalama – yazhlimu” yang berarti “Menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya”. Dalam hal ini sepadan dengan kata “al-Jawr”.
Demikian juga definisi yang dinukil oleh Syaikh Ibnu Rajab dari kebanyakan para ulama. Dalam hal ini, ia adalah lawan dari kata al-‘Adl (keadilan)
Hadits diatas dan semisalnya merupakan dalil atas keharaman perbuatan zhalim dan mencakup semua bentuk kezhaliman, yang paling besarnya adalah syirik kepada Allah Ta’âla sebagaimana di dalam firman-Nya: “Sesungguhnya syirik itu merupakan kezhaliman yang besar”.
Di dalam hadits Qudsiy, Allah Ta’âla berfirman: “Wahai hamba-hambaku! Sesungguhnya Aku mengharamkan kezhaliman terhadap diriku dan menjadikannya diharamkan antara kalian”.
Ayat-ayat dan hadits-hadits serta atsar-atsar tentang keharaman perbuatan zhalim dan penjelasan tentang keburukannya banyak sekali.
Oleh karena itu, hadits diatas memperingatkan manusia dari perbuatan zhalim, memerintahkan mereka agar menghindari dan menjauhinya karena akibatnya amat berbahaya, yaitu ia akan menjadi kegelapan yang berlipat di hari Kiamat kelak.
Ketika itu, kaum Mukminin berjalan dengan dipancari oleh sinar keimanan sembari berkata: “Wahai Rabb kami! Sempurnakanlah cahaya bagi kami”. Sedangkan orang-orang yang berbuat zhalim terhadap Rabb mereka dengan perbuatan syirik, terhadap diri mereka dengan perbuatan-perbuatan maksiat atau terhadap selain mereka dengan bertindak sewenang-wenang terhadap darah, harta atau kehormatan mereka; maka mereka itu akan berjalan di tengah kegelapan yang teramat sangat sehingga tidak dapat melihat arah jalan sama sekali.
Klasifikasi Kezhaliman
Syaikh Ibn Rajab berkata: “Kezhaliman terbagi kepada dua jenis: Pertama, kezhaliman seorang hamba terhadap diri sendiri :
Bentuk paling besar dan berbahaya dari jenis ini adalah syirik sebab orang yang berbuat kesyirikan menjadikan makhluk sederajat dengan Khaliq. Dengan demikian, dia telah menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya.
Jenis berikutnya adalah perbuatan-perbuatan maksiat dengan berbagai macamnya; besar maupun kecil.
Kedua, kezhaliman yang dilakukan oleh seorang hamba terhadap orang lain, baik terkait dengan jiwa, harta atau kehormatan.
Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam telah bersabda ketika berkhuthbah di haji Wada’ : “Sesungguhnya darah, harta dan kehormatan kalian diharamkan atas kalian sebagaimana keharaman hari kalian ini, di bulan haram kalian ini dan di negeri (tanah) haram kalian ini”.
Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhary dari Abu Hurairah dari Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: “Barangsiapa yang pernah terzhalimi oleh saudaranya, maka hendaklah memintakan penghalalan (ma’af) atasnya sebelum kebaikan-kebaikannya (kelak) akan diambil (dikurangi); Bila dia tidak memiliki kebaikan, maka kejelekan-kejelekan saudaranya tersebut akan diambil lantas dilimpahkan (diberikan) kepadanya”.
Penyebab terjadinya
Ibnu al-Jauziy menyatakan: “kezhaliman mengandung dua kemaksiatan: mengambil milik orang lain tanpa hak, dan menentang Rabb dengan melanggar ajaran-Nya… Ia juga terjadi akibat kegelapan hati seseorang sebab bila hatinya dipenuhi oleh cahaya hidayah tentu akan mudah mengambil i’tibar (pelajaran)”.
Barangkali, penyebabnya juga dapat dikembalikan kepada definisinya sendiri, yaitu tidak menempatkan sesuatu pada tempatnya. Dan hal ini terjadi akibat kurangnya pemahaman terhadap ajaran agama sehingga tidak mengetahui bahwa :
· Hal itu amat dilarang bahkan diharamkan
· Ketidakadilan akan menyebabkan adanya pihak yang terzhalimi
· Orang yang memiliki sifat sombong dan angkuh akan menyepelekan dan merendahkan orang lain serta tidak peduli dengan hak atau perasaannya
· Orang yang memiliki sifat serakah selalu merasa tidak puas dengan apa yang dimilikinya sehingga membuatnya lupa diri dan mengambil sesuatu yang bukan haknya
· Orang yang memiliki sifat iri dan dengki selalu bercita-cita agar kenikmatan yang dirasakan oleh orang lain segera berakhir atau mencari celah-celah bagaimana menjatuhkan harga diri orang yang didengkinya tersebut dengan cara apapun
Terapinya
Diantara terapinya –wallâhu a’lam- adalah:
Mencari sebab hidayah sehingga hatinya tidak gelap lagi dan mudah mengambil pelajaran
Mengetahui bahaya dan akibat dari perbuatan tersebut baik di dunia maupun di akhirat dengan belajar ilmu agama
Meminta ma’af dan penghalalan kepada orang yang bersangkutan selagi masih hidup, bila hal ini tidak menimbulkan akibat yang lebih fatal seperti dia akan lebih marah dan tidak pernah mau menerima, dst. Maka sebagai gantinya, menurut ulama, adalah dengan mendoakan kebaikan untuknya
Membaca riwayat-riwayat hidup dari orang-orang yang berbuat zhalim sebagai pelajaran dan i’tibar sebab kebanyakan kisah-kisah, terutama di dalam al-Qur’an yang harus kita ambil pelajarannya adalah mereka yang berbuat zhalim, baik terhadap dirinya sendiri atau terhadap orang lain.
Kikir/Bakhil
Hadits tersebut (hadits kedua) memberikan peringatan terhadap perbuatan kikir dan bakhil karena merupakan sebab binasanya umat-umat terdahulu. Ketamakan terhadap harta menggiring mereka bertindak sewenang-wenang terhadap harta orang lain sehingga terjadilah banyak peperangan dan fitnah yang berakibat kebinasaan mereka dan penghalalan terhadap isteri-isteri mereka. Kebinasaan seperti ini baru mereka alami di dunia .
Belum lagi di akhirat dimana tindakan sewenang-wenang terhadap harta orang lain, terhadap isteri-isterinya dan menumpahkan darahnya merupakan kezhaliman yang paling besar dan dosa yang teramat besar. Perbuatan-perbuatan maksiat inilah yang merupakan sebab kebinasaan di akhirat dan mendapat azab neraka.
Diantara Nash-Nash Yang Mencelanya
Banyak sekali nash-nash yang mencela dan mengecam perbuatan kikir/bakhil, diantaranya:
1. Firman Allah Ta’âla: “Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung”. (Q,.s.al-Hasyr/59: 9)
2. Firman Allah Ta’âla : “Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q,.s. Âli ‘Imrân/03: 180)]
3. Firman Allah Ta’âla : “Dan siapa yang kikir sesungguhnya dia hanyalah kikir terhadap dirinya sendiri…”. (Q,.s. Muhammad/47: 38)
4. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam Musnad dan Imam at-Turmuzy di dalam kitabnya dari hadits Abu Bakar bahwasanya Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda: “Tidak masuk surga seorang yang bakhil”.
5. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam at-Turmuzy dan an-Nasâ-iy dari hadits Abu Dzar bahwasanya Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah membenci tiga (orang): (1) orang yang sudah tua tetapi berzina, (2) orang yang bakhil/kikir yang selalu menyebut-nyebut pemberiannya, (3) dan orang yang musbil (memanjangkan pakaiannya hingga melewati mata kaki) yang sombong”.
Penyebab timbulnya
Sifat Bakhil merupakan penyakit yang disebabkan oleh dua hal:
Pertama, cinta terhadap hawa nafsu yang sarananya adalah harta.
Kedua, cinta terhadap harta yang diakibatkan oleh hawa nafsu, kemudian hawa nafsu dan semua hajatnya tersebut terlupakan sehingga harta itu sendiri yang menjadi kekasih yang dicintainya.
Terapinya
Terapi yang dapat memadamkan hawa nafsu tersebut diantaranya:
Merasa puas dengan hidup yang serba sedikit
Bersabar dan mengetahui secara yakin bahwasanya Allah Ta’âla adalah Maha Pemberi rizki
Merenungi akibat dari perbuatan bakhil di dunia sebab tentu ada penyakit-penyakit yang sudah mengakar pada diri penghimpun harta sehingga tidak peduli dengan apapun yang terjadi terhadap dirinya.
Klasifikasi Prilaku Manusia Di Dunia
Prilaku manusia di dunia ini terdiri dari tiga klasifikasi:
1. Boros
2. Taqshîr (Mengurang-ngurangi) alias Bakhil
3. Ekonomis (berhemat/sedang-sedang saja)
Klasifikasi pertama dan kedua merupakan prilaku tercela sedangkan klasifikasi ketiga adalah prilaku terpuji.
Klasifikasi pertama, Boros (isrâf) adalah tindakan yang berlebih-lebihan di dalam membelanjakan harta baik yang bersifat dibolehkan ataupun yang bersifat diharamkan; ini semua adalah keborosan yang amat dibenci.
Klasifikasi kedua, Taqshîr (mengurang-ngurangi) alias bakhil; orang yang bersifat seperti ini suka mengurang-ngurangi pengeluaran baik yang bersifat wajib ataupun yang dianjurkan yang sesungguhnya sesuai dengan tuntutan ‘murû-ah’ (harga diri).
Klasifikasi ketiga, ekonomis dan sistematis; orang yang bersifat seperti ini di dalam membelanjakan harta yang bersifat wajib yang terkait dengan hak-hak Allah dan makhluk melakukannya dengan sebaik-baiknya; apakah itu pengeluaran-pengeluaran biasa ataupun utang piutang yang wajib. Demikian pula, melakukan dengan sebaik-baiknya pengeluaran yang bersifat dianjurkan yang sesuai dengan tuntutan ‘murû-ah’ (harga diri). Allah Ta’âla berfirman: “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian”. (Q,s.al-Furqân/25: 67)
Inilah yang merupakan salah satu kriteria dari sifat-sifat yang dimiliki oleh ‘Ibâd ar-Rahmân (hamba-hamba Allah).
Wallahu a’lam. (Kamis, 27-07-1423 H= 3-10-2002 M)
DAFTAR PUSTAKA:
1. ‘Abdul Bâqy, Muhammad Fuâd, al-Mu’jam al-Mufahris Li Alfâzh al-Qur’ân al-Karîm
2. Mausû’ah al-Hadîts asy-Syarîf (CD)
3. al-Bassâm, ‘Abdullâh bin ‘Abdurrahmân, Taudlîh al-Ahkâm Min Bulûgh al-Marâm, (Mekkah al-Mukarramah: Maktabah wa mathba’ah an-Nahdlah al-Hadîtsah, 1414 H), Cet. II
4. ad-Dimasyqiy, al-Imâm al-Hâfizh al-Faqîh, Zainuddîn, Abi al-Faraj, ‘Abdurrahmân bin Syihâbuddîn al-Baghdâdiy, Ibnu Rajab, Jâmi’ al-‘Ulûm wa al-Hikam fî Syarh Khamsîna Hadîtsan Min Jawâmi’ al-Kalim, (Beirut: Muassasah ar-Risâlah, 1412 H), Cet. III, Juz. II
5. ar-Râziy, Muhammad bin Abi Bakr bin ‘Abdul Qâdir, Mukhtâr ash-Shihâh, (Lebanon: al-Markaz al-‘Arabiy Li ats-Tsaqâfah wa al-‘Ulûm, tth)
6. ad-Dimasyqiy, Abu al-Fidâ’, Ismâ’il bin Katsîr al-Qurasyiy, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, (Riyadl: Maktabah Dâr as-Salâm, 1414 H), Cet. I, Juz. VII
7. al-Jazâ-iry, Abu Bakar, Jâbir, asy-Syaikh, Minhâj al-Muslim, (Madinah: Maktabah al-‘Ulûm wa al-Hikam, 1419 H), Cet. VI

No comments: